Selasa, 04 Februari 2020

Vettel Galau

Sebastian Vettel
Sebastian Vettel mungkin sedang bermuka muram saat ini. Sembari menunggu tes pramusim F1, yang akan dimulai pada tanggal 19 Februari besok, Vettel akan lebih banyak berpikir panjang. Entah apakah kegalauannya ini akan terbawa saat kemudian dia sudah duduk di kokpit Ferrari-nya, yang berwarna merah menyala itu.

Tahun 2019 lalu mungkin ingin segera dia lupakan. Musim lalu merupakan musim yang secara umum sangat sulit bagi Tim Kuda Jingkrak. Kekonyolan tim penentu strategi masih menjadi penyakit kronis yang seakan tak ada obatnya. Mobilnya cuma unggul di sirkuit yang banyak trek lurus seperti Spa-Francorchamps dan Monza. Selebihnya harus rela menghirup asap knalpot Mercedes, yang sukses merebut gelar juara dunia konstruktor keenam, dan memberikan gelar juara dunia pembalap pada Lewis Hamilton.

Untuk Vettel sendiri, keadaannya jauh lebih mengerikan. Mungkin luka hatinya saat kemenangannya direnggut oleh stewards GP Kanada dengan penalti 5 detik sudah dia lupakan. Namun, sepanjang musim ini dia banyak berada di belakang rekan setimnya, Charles Leclerc. Yang usianya baru 22 tahun, dan baru menjalani musim keduanya di balap F1. Namun sukses merebut kemenangan di Spa dan Monza. Sementara Vettel malah berulang kali melakukan kesalahan seperti melintir di Bahrain dan Monza. Beberapa kali juga terkena apes et causa kekonyolan strategi Ferrari atau masalah teknis.

Terlepas dari beberapa kesialan atau penalti GP Kanada yang gila itu, namun secara statistik, jelas bahwa musim ini Vettel kalah bertaji jika dibandingkan dengan rekan setimnya yang masih muda itu. Sepanjang musim ini, saat kualifikasi Leclerc berada di depan rekan setimnya sebanyak 11 kali, sedangkan Vettel 9 kali. Leclerc mencetak tujuh kali pole position, sedangkan Vettel hanya dua kali. Rata-rata posisi finis Leclerc adalah 4,21, sedangkan Vettel 5,11. Pun, hasil akhirnya, Leclerc berada di posisi 4 klasemen dengan 264 poin, sedangkan Vettel di posisi 5 dengan 240 poin.

Perbandingan Leclerc dan Vettel dikutip dari Racing Statistics
Perbandingan Leclerc dan Vettel, dikutip dari RaceFans
Tentu hal ini sangat mengganggu Vettel. Awal karirnya bisa diberi predikat cum-laude. Berbagai rekor ‘termuda’ diraihnya, termasuk saat meraih pole position dan menang di Monza tahun 2008. Itu spesial, karena Vettel menang dengan mobil Scuderia Toro Rosso, tim junior Red Bull. STR secara embriologis berasal dari tim penghuni bawah klasemen, Minardi, dan pada musim-musim sebelumnya tidak pernah diperhitungkan bahkan untuk naik podium.

Kemudian Vettel ditarik ke tim senior Red Bull Racing. Bersama Banteng Merah (yang tak bermoncong putih), Vettel menjadi superstar. Gelar juara dunia didapatkannya pada 2010-2013. Dominasinya seakan tak terbendung. Dia pun mendapat julukan Baby Schumi, digadang-gadang menjadi penerus kejayaan sang legenda Jerman, Michael Schumacher.

Namun, pada 2014, Vettel dan Red Bull kesulitan dengan regulasi baru. Vettel pun pindah ke Ferrari untuk 2015, di mana dia makin dielu-elukan sebagai titisan Mbah Schumi, yang dikenal sebagai legenda Ferrari. Namun, selain beberapa kali menang, Vettel belum dapat menambah koleksi gelar juara dunia di lemari pialanya.

Masa depan Vettel pun masih belum jelas. Mercedes memiliki banyak pembalap junior, dan Hamilton masih akan di sana sampai beberapa tahun ke depan. Red Bull sudah punya si tengil Max Verstappen untuk jangka panjang. Ferrari baru saja memperpanjang kontrak Leclerc untuk beberapa tahun ke depan, dan seakan menggantungkan pembicaraan kontrak Vettel. Renault atau McLaren jelas bukan pilihan.

Jelas saja Vettel galau kuadrat. Dulu digadang-gadang sebagai penerus Schumacher, dan dianggap sebagai awal kebangkitan Ferrari di 2015. Namun, kini malah harus rela menelan asap dari rekan setim yang lebih muda 10 tahun darinya. Belum lagi banyaknya kesalahan sepele tetapi memalukan yang dia lakukan. Kondisi ini membuat tahun 2020 akan jadi tahun krusial buat Vettel.

Memang, Vettel belum habis. Bagaimana dia naik ke posisi 2 setelah start dari belakang di GP Jerman adalah bukti bahwa dia masih bisa bertaji. Belum lagi ketika menang di Singapura, lap pertama dia saat keluar dari pit stop dan melompati Leclerc adalah bukti kecepatannya masih ada. Namun, Vettel perlu menunjukkan performa seperti ini secara konsisten, supaya karirnya di F1 selamat.

Berkat Jarvis, Yamaha Menang Banyak

Lin Jarvis
Lin Jarvis, Direktur Monster Energy Yamaha Team, kini bisa bernapas lega. Kursi-kursi panas di Monster Energy Yamaha MotoGP, sudah terisi semua. Jarvis berhasil menggunakan langkah-langkah caturnya, tidak hanya untuk mengisi kursi tim pabrikan Yamaha dengan pembalap yang tepat, namun memastikan Yamaha menang banyak untuk 2021 dan seterusnya.

Kursi panas dalam silly season MotoGP 2020 ini memang banyak tergantung pada Yamaha. Sebagaimana Pak Guru pernah tulis di prediksi MotoGP 2020, Yamaha memegang kunci pergerakan pembalap. Tiga pembalap berebut kursi pabrikan Yamaha, dan semuanya punya nilai lebih masing-masing.

Fabio Quartararo mungkin nama yang paling fenomenal, khususnya di MotoGP 2019 kemarin. Dari sebelumnya yang tidak dikenal, tiba-tiba Razlan Razali merekrutnya untuk memperkuat tim Petronas SRT Yamaha. Tim satelit Yamaha. Awalnya diberikan motor spek B, dengan alokasi mesin lebih sedikit dan putaran mesin yang dikurangi 500 rpm. Malah El Diablo mampu tampil bersinar, tujuh kali finis di podium dan enam kali start dari posisi terdepan. Dua kali berduel dengan Marc Marquez, sang juara dunia, rebutan kemenangan. Berulang kali menempati posisi teratas dalam sesi latihan bebas. Mengunci posisi enam klasemen akhir, sekaligus gelar Rookie of The Year dan pembalap tim independen (nonpabrikan) terbaik. 


Fabio Quartararo
Maverick Vinales adalah satu-satunya pembalap yang mampu menang dengan Yamaha pada tahun 2018 dan 2019. Didatangkan dari Suzuki pada tahun 2017 lalu, Vinales langsung tampil bersinar. Meski di 2018 hanya menang sekali dan sering tidak konsisten, tahun ini dia menang dua kali, di Belanda dan di Malaysia. Vinales menempati tempat ketiga di klasemen akhir MotoGP 2019, bukti konsistensinya yang semakin kuat. Vinales masih muda, dan sangat potensial untuk berkembang. 


Maverick Vinales
Jangan pernah lupakan si gaek Valentino Rossi. Meski mengalami musim yang sulit pada 2019, di mana dia hanya mampu berada di posisi tujuh klasemen akhir, dengan hanya dua kali naik podium, Rossi adalah legenda MotoGP. Pengalamannya membalap di kelas utama sejak tahun 2000, dengan tujuh gelar juara dunia (dua gelar lainnya di kelas 125 cc dan 250 cc, sekarang Moto3 dan Moto2) adalah aset besar bagi Yamaha. Meski sudah berusia 41 tahun dan terakhir menang tahun 2017 silam, The Doctor masih merupakan mesin penjualan terbesar bagi Yamaha, selain sebagai daya tarik bagi sponsor. Bendera kuning bernomor 46, simbol kebesaran Rossi, juga masih mendominasi tribun di sirkuit balapan MotoGP.


Valentino Rossi
Quartararo dan Vinales jelas merupakan aset besar. Masih muda, masih bisa berkarir untuk jangka panjang. Boleh jadi mereka akan meraih beberapa gelar juara dunia dengan dukungan maksimal Yamaha. Keduanya harus cepat diamankan, apalagi pabrikan seperti Ducati sudah terang-terangan mengincar Vinales dan Quartararo. Memang Ducati di bawah arahan Gigi Dall’igna ini agresif sekali soal ‘mencuri’ pembalap dari tim lain.

Namun, melepas Rossi bukan hal yang mudah. Rossi masih bisa tampil kuat, seperti ditunjukkannya dalam beberapa balapan di musim ini, dan di musim 2018 dulu. Pengalaman Rossi sebagai legenda hidup MotoGP, melintasi berbagai macam era, kemenangannya, dan gelar-gelar juara dunianya, bisa menjadi aset berharga bagi Yamaha. Belum lagi fakta bahwa Rossi merupakan ikonnya MotoGP, membuat sponsor tertarik untuk berinvestasi di Yamaha dan juga membantu Yamaha menjual banyak motor di berbagai negara. Membuang Rossi, risikonya Yamaha kehilangan pundi-pundi uang.

Prioritas utama Jarvis, adalah mengunci masa depan. Dengan cepat Vinales diajak memperpanjang kontrak. Belum sehari, Quartararo disodori kontrak pabrikan. Bahkan sesi tes pramusim belum mulai, dua pembalap muda Yamaha sudah dikunci supaya tidak diambil Ducati atau Suzuki.

Untuk menjaga marwah Rossi sebagai legenda MotoGP, Jarvis mampu menjelaskan berbagai hal secara komprehensif pada Sang Kakek Legend. Karena pergerakan pasar pembalap, Yamaha harus segera mengumumkan susunan pembalapnya. Sementara Rossi masih mau melihat performanya di balapan-balapan awal untuk menilai prognosis karirnya di MotoGP.

Jarvis kemudian memberikan pilihan yang menguntungkan bagi Rossi. Rossi dipersilakan untuk menentukan kelanjutan karirnya hingga beberapa seri balap ke depan. Kursi Rossi memang diambil oleh Quartararo, namun Rossi akan selalu dapat motor dan dukungan teknis dari pabrikan Yamaha apabila Rossi ingin lanjut balapan di 2021 dan seterusnya. Bisa di tim Petronas SRT Yamaha. Mungkin bisa jadi tim balap Rossi, Sky Racing Team VR46, naik kelas ke MotoGP setelah sukses di Moto3 dan Moto2 akhir-akhir ini, dan jadi tim ketiga Yamaha. Mungkin juga struktur tim lain. Yang jelas, motor pabrikan dengan dukungan teknis penuh dari Yamaha selalu tersedia untuk Sang Legenda.

Kalaupun Il Dottore memilih pensiun, dia akan menjadi duta merek Yamaha. Sekaligus, kerjasama pengembangan pembalap muda dan merchandising yang sudah terjalin antara Yamaha dan gurita bisnis VR46, akan semakin diperkuat. Boleh jadi Rossi akan diberikan peran manajerial di Yamaha, sebagaimana Mick Doohan di Honda dulu ketika menangani timnya Rossi di tahun 2000-2001, Nastro Azzurro Honda. Secara bisnis, Rossi dan Yamaha tetap akan mengalami simbiosis mutualisme.

Sang Doktor pun legawa. Dia tahu bahwa hari-hari balapnya akan segera berakhir. Sekalipun demikian, Jarvis sudah meyakinkannya bahwa masa depannya, apapun itu, akan tetap terjamin bersama Yamaha. Sehingga Rossi pun merelakan kursinya dipakai Quartararo untuk 2021 dan seterusnya.

Yamaha menang banyak. Langkah catur Jarvis jitu sekali memang. Duo Vinales-Quartararo yang masih muda dan cepat ini akan jadi ujung tombak pabrikan Yamaha untuk beberapa tahun ke depan, siap menghancurkan dominasi Marc Marquez dan Honda. Yamaha tidak akan kehilangan nilai pasar dari seorang Rossi, malah semakin kuat. Yamaha pun tidak akan kekurangan stok pembalap berbakat, karena VR46 Riders Academy siap menyuplai pembalap berkualitas untuk Yamaha.

Semakin hebat lagi, Jarvis berhasil meyakinkan Jorge Lorenzo untuk bergabung sebagai pembalap tes. Lorenzo, pembalap yang pernah meraih tiga gelar juara dunia bersama Yamaha, akan menjadi aset besar untuk pengembangan motor. Sebagaimana Dani Pedrosa untuk KTM, Lorenzo bisa memberikan input besar bagi inovasi baru Yamaha YZR-M1 di tahun-tahun ke depan.



Mari kita lihat, apakah kemenangan Jarvis ini bisa menjadi kemenangan Yamaha di MotoGP 2020 dan seterusnya?

Post ini telah diterbitkan di PepNews pada 1 Februari 2020.